Kata Angkringan berasal dari kata bahasa Jawa yaitu “Angkring” yang artinya duduk santai, biasanya dengan melipat satu kaki ke atas kursi. Kalau orang jawa menyebutnya "Metangkring".
Selain di Jogja, Warung Angkringan juga banyak ditemui di Solo dan Klaten, hanya saja namanya berbeda. Warung ini jika di Solo namanya adalah HIK yang mempunyai kepanjangan "Hidangan Istimewa Kampung”.
Mbah Pairo, sosok inilah yang bisa dibilang pelopor atau nenek moyangnya Warung Angkringan.
Mbah Pairo adalah seorang pendatang dari Cawas pada tahun 1950-an. Beliau mencari peruntungan di Yogyakarta, sebab di daerah nya merupakan lahan yang tandus. Cawas adalah daerah Klaten bagian selatan yang meruakan perbatasan dengan kabupaten Gunungkidul. Daerah dengan batu kapur sebagai daratannya.
Di Yogyakarta beliau mulai menjajakan nasi yang sekarang lebih populer dengan sebutan Nasi Kucing. Dari sinilah Sejarah Warung Nasi Kucing atau Angkringan Jogja dimulai. Bertempat di emplasemen Stasiun Tugu Mbah Pairo menggelar dagangannya. Pada waktu itu angkringannya dikenal dengan sebutan Ting-Ting Hik (dibacanya: Hek) karena beliau selalu berteriak “Hiiik…Iyeek” ketika menjajakan dagangannya. Istilah HIK adalah nama yang sekarang dikenal di Solo.
Angkringan Mbah Pairo semakin berkembang dan pada tahun 1969 diteruskan oleh Lik Man, putra Mbah Pairo. Lik Man adalah pedagang Nasi Angkringan yang kini menempati sebelah utara Stasiun Tugu dan sempat beberapa kali berpindah lokasi.
Rata-rata menu Angkringan adalah nasi kucing, gorengan, sate usus, sate telur puyuh, keripik dan lain-lain. Minuman yang dijualpun beraneka macam seperti teh, jeruk, kopi, tape, wedang jahe dan susu. Maka kalau main-main ke Jogja belum ke Angkringan ya belum afdol.