Kasultanan Yogyakarta merupakan kerajaan yang meneruskan gaya pemerintahan Kerajaan Mataram Islam. Salah satu ciri utamanya adalah keberadaan patih atau juga dikenal sebagai Pepatih Dalem, sebuah jabatan kerajaan setingkat perdana menteri. Patih Kesultanan Yogyakarta memakai gelar Danureja dan berkedudukan di sebuah wilayah yang disebut Kepatihan.
Kasultanan Yogyakarta berdiri berdasarkan Perjanjian Giyanti tahun 1755 yang membagi Kerajaan Mataram menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Oleh karenanya Kasultanan Yogyakarta pun meneruskan apa yang sudah dilakukan oleh Kerajaan Mataram sebelumnya. Sebelum dikukuhkan sebagai raja, Sultan harus menandatangani kontrak politik dengan pihak pemerintah kolonial. Salah satu bagian dari kontrak tersebut mengatur keberadaan patih. Selain sebagai pembantu Sultan, Pepatih Dalem juga menjalankan fungsi sebagai penghubung kesultanan dengan pihak pemerintah kolonial.
Salah satu patih yang masih dikenal oleh sebagian orang adalah patih Danureja yang ke VII.
Kanjeng Pangeran Haryo Adipati Danurejo VII (1 Maret 1912 – sekitar Oktober 1933)
Kanjeng Pangeran Haryo Yudanegara III, demikian nama beliau sebelum menjabat sebagai Pepatih Dalem, sangat menyukai seni pertunjukan. Beliau berkeinginan membawa pertunjukan wayang orang ke luar tembok keraton. Untuk tujuan inilah beliau menciptakan Langen Mandra Wanara di mana tarian-tariannya dilakukan dengan jongkok dan dialognya berupa tembang.
Selain itu, beliau juga menciptakan gamelan yang bilahnya terbuat dari pecahan kaca, dikenal dengan nama Gamelan Beling.
Beliau menikah dengan GKR Ayu, putri Sri Sultan Hamengku Buwono VII dan GKR Hemas. Setelah wafat pada bulan Jumadilakhir tahun 1864 J, beliau dimakamkan di makam Cendonosari, dusun Wonocatur, Banguntapan, Bantul.
Makam tersebut sangat menarik untuk dikunjungi karena letaknya berada di kota dan ada di atas bukit. Satu-satunya bukit yang ada di daerah tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar